... Debora, bangkit sebagai ibu di Israel ... Diberkatilah Yael, isteri Heber, orang Keni itu, melebihi perempuan-perempuan lain ...(Hakim-hakim 5:7, 24)


Tiga pria berjalan sampai di tepi sungai deras. Bagaimana mereka menyeberang? Pria pertama berdoa, "Tuhan, beri aku kekuatan untuk menyeberang." Maka, Tuhan memberinya tangan dan kaki yang kuat; ia bisa menyeberang dalam waktu dua jam. Pria kedua berdoa, "Tuhan, beri aku kekuatan dan kemampuan untuk menyeberang." Maka, Tuhan memberinya perahu; ia bisa menyeberang dalam waktu satu jam. Pria ketiga pun berdoa, "Tuhan, beri aku kekuatan, kemampuan, dan kecerdasan untuk menyeberangi sungai ini." Sungguh mengejutkan, Tuhan mengubahnya menjadi perempuan! Dengan tenang si perempuan mengambil peta, lalu menyeberang lewat jembatan!

Humor di atas bukan untuk merendahkan kaum pria, tetapi untuk meneguhkan perempuan bahwa Tuhan juga memberi hikmat bagi mereka. Bahwa perempuan bukan golongan nomor dua, melainkan kaum yang dicipta Allah secara istimewa. Tuhan memberi perempuan kekuatan unik, lewat kepekaan dan kerajinannya. Tuhan memberi perempuan kelebihan spesial, lewat sikap keibuan dan keteguhannya. Semuanya Tuhan karuniakan, agar perempuan siap menjalani peran yang Tuhan sediakan baginya.

Debora dan Yael adalah para perempuan yang menjalankan peran dengan baik saat Tuhan melibatkan mereka dalam rencana-Nya. Debora dengan sikap keibuannya, menjadi pengayom bagi Israel. Yael, dengan kesempatan yang datang padanya, menggunakan hikmat Tuhan untuk menaklukkan Sisera. Keduanya perempuan, keduanya menggunakan hikmat, keduanya menjadi pelaku rencana Allah. 


Free Template Blogger collection template Hot Deals SEO

Nats :
Yesus berseru pula dengan suara nyaring lalu menyerahkan nyawa-Nya. (Matius 27:50)


Bagaimanakah perasaan Anda ketika Anda harus berkurban untuk orang lain? Bagaimana jika orang yang untuknya Anda berkurban itu ternyata tidak menghargai pengurbanan itu atau bahkan menolak pengurbanan itu?

Kita dapat membayangkan sekilas perasaan Tuhan Yesus ketika Dia menjalani hukuman salib. Dia yang tiada berdosa, namun rela menderita bahkan sampai mati di kayu salib untuk menebus dosa manusia. Kita dapat memahami jika Yesus merasa pedih ketika manusia justru menolak dan mencemooh diri-Nya, bahkan menyiksa-Nya dengan brutal. Sebagai seorang manusia, Yesus juga tercekam ketakutan yang mendalam karena Allah yang mengutus-Nya seakan-akan meninggalkan Dia. Dia berseru kepada Allah, "Eli, Eli lama sabakhtani --Allahku, Allahku, mengapa Engkau meninggalkan Aku" (ay. 46). Tuhan Yesus Mahakuasa dan mampu menghindari hukuman salib itu. Akan tetapi, karena kasih-Nya, Anak Allah memilih menyerahkan nyawa-Nya untuk menyelamatkan manusia (ay. 50).

Setiap Jumat Agung, kita memperingati pengurbanan dan kematian Tuhan Yesus. Apakah kita masih merasakan getaran kematian-Nya yang menghapus dosa kita? Ataukah, perayaan Jumat Agung hanya menjadi ritual tahunan? Jika Yesus yang tanpa dosa telah rela berkurban demi kita yang penuh dosa ini, maukah kita juga berkurban demi sesama kita untuk mewartakan kabar baik dan keselamatan yang Tuhan anugerahkan? Sekalipun kita mungkin ditolak atau tidak dihargai, biarlah hal itu tidak menyurutkan keikhlasan kita


Free Template Blogger collection template Hot Deals SEO

Sebab, juga waktu kami berada di antara kamu, kami memberi peringatan ini kepada kamu: Jika seseorang tidak mau bekerja, janganlah ia makan. (2 Tesalonika 3:10)


Pada musim dingin, si belalang melihat sederet semut membawa biji-bijian ke sarang mereka. Kata belalang, "Maukah kamu berbagi sedikit makanan? Saya belum makan apa pun sejak kemarin; saya hampir mati kelaparan." Seekor semut menjawab, "Apa yang kamu lakukan sepanjang musim panas sehingga tidak punya makanan pada musim dingin ini?" Kata belalang, "Saya menghabiskan waktu untuk bernyanyi dan beribadah kepada Tuhan; saya sibuk mempersembahkan berbagai kidung kepada-Nya sehingga saya tidak sempat mengumpulkan makanan untuk musim dingin." Jawab semut. "Kalau begitu, berdoalah terus dan mintalah musim dingin segera pergi." Rombongan semut itu berlalu meninggalkan si belalang.

Fabel di atas mengingatkan saya pada ajaran Paulus. Ia menegaskan bahwa orang yang tidak mau bekerja tidak boleh makan. Ia tidak berbicara tentang orang yang tidak mampu bekerja, melainkan orang yang malas atau enggan bekerja. Orang semacam itu hanya akan menjadi benalu di tengah keluarga dan masyarakat. Sebaliknya, orang yang rajin bekerja bukan hanya akan dapat mencukupi kebutuhan pribadi, namun kiranya mendapatkan hasil berlebih untuk membantu orang lain yang kekurangan.

Bekerja tidak lain adalah perwujudan dari iman dan ibadah. Berdoa dan bekerja, dengan demikian, tidak sepatutnya dipertentangkan; keduanya perlu berjalan beriringan. Jika orang menghayati hal ini dengan baik, ia akan bekerja dengan penuh sukacita dan rasa syukur, dan hasilnya pun akan optimal. 


Free Template Blogger collection template Hot Deals SEO

Song